Bogor, 21/10 (ANTARA) - Aliansi Organis Indonesia (AOI) meminta kepada pemerintah agar dapat melindungi petani organik, termasuk dari ancaman dan hambatan yang ada.
Manajer Kampanye dan Media AOI Sri Nuryati dalam keterangan persnya melalui surat elektronik di Bogor, Jumat, mengatakan permintaan itu merupakan hasil konsolidasi petani organik yang tergabung dalam AOI selama empat hari (17-20/10) di Pontianak, Kalimantan Barat.
Ia menyebutkan bahwa pertanian organik berkembang pesat di Indonesia, namun perkembangan ini tidaklah mudah, karena banyak hal yang menghambatnya, mulai dari masalah internal petani atau kelompok tani hingga eksternal, baik kebijakan pemerintah maupun intervensi pihak swasta.
Karena itu, menurut AOI, tanpa dukungan dari para pihak, niat baik dari petani mengembangkan pertanian organik seringkali terhambat oleh tidak mudahnya akses pasar, penentuan harga yang tepat, rendahnya kualitas produk dan sebagainya.
Sementara itu, pemerintah tampak masih mengalami dilema untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung petani organik, dan bahkan beberapa kebijakan pemerintah yang ada mengancam semangat petani organik untuk menjalani praktik-praktik pertanian organik yang baik dan benar.
Dijelaskannya bahwa berdasarkan konsolidasi AOI di Pontianak tersebut, menunjukkan adanya ancaman dari kebijakan sertifikasi bagi produk organik, dan kebijakan sektor lain yang mengganggu keberlanjutan pertanian organik.
Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung itu, katanya, semakin memperburuk dari kesulitan internal dari petani atau kelompok tani.
Ia memberi contoh kebijakan sertifikasi organik mempersulit petani kecil karena harganya yang mahal dan prosedurnya yang rumit, sehingga tidak bisa terjangkau oleh petani.
Sementara itu, beberapa kebijakan sektor lain seperti perluasan perkebunan kelapa sawit dan alih fungsi lahan lainnya pun mengancam pertanian organik.
Baru-baru ini, kata dia, petani madu hutan organik yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) mengaku khawatir dengan kebijakan pemerintah yang memperluas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.
"Kualitas madu hutan yang telah bersertifikat organik ini bisa terancam oleh kontaminasi pestisida dari perkebunan kelapa sawit di sekitarnya. Maka upaya petani APDS selama hampir tujuh tahun dalam memproduksi madu hutan berkualitas hingga mendapat sertifikat organik bisa hilang begitu saja," kata Irawan, sebagai salah satu pendamping petani madu APDS, seperti dikutip Sri Nuryati.
Menurut dia, saat ini para petani madu hutan APDS telah berupaya agar pemerintah kabupaten setempat , khususnya Bupati Kapuas Hulu untuk tidak memberikan izin perluasan kelapa sawit ini.
Salah satunya, dengan menarik perhatian bupati melalui upaya ekspor madu APDS perdana ke Serawak, Malaysia.
Ia menambahkan, selain terancam hilang atau dicabutnya sertifikat organik yang sudah diperoleh petani, kebijakan pemerintah tentang sertifikasi organik juga menghambat petani memasarkan produk organiknya, dan kondisi ini yang dialami oleh petani organik lain yang tergabung di AOI.
Karena itu, kata dia, menghadapi ancaman dan hambatan tersebut, AOI bersama jaringan internasionalnya yakni IFOAM secara simultan telah mengembangkan sistem penjaminan berbasis komunitas (participatory guarantee system/PGS) atau Pamor Indonesia untuk membantu petani organik mendapat sertifikat yang mudah dan murah.
Namun, katanya, upaya tersebut masih terancam karena pemerintah belum mengakui sertifikasi PGS atau Pamor.
Menanggapi berbagai isu dan ancaman terhadap pengembangan pertanian organik ini, AOI mendesak pemerintah untuk mendukung pengembangan pertanian organik dan konsumsi produk organik di Indonesia.
Kemudian, mengakui penjaminan organik partisipatif (PGS/PAMOR) yang di Indonesia, mengembangkan program dalam membantu petani organik kecil mendapatkan sertifikasi organik, dan tidak mengeluarkan kebijakan yang mengancam keberlanjutan pertanian organik dan kualitas organik dari produk hutan, seperti izin perkebunan kelapa sawit, tambang dan sebagainya.
A Fahir