Jakarta (Antara Megapolitan)- Awalnya DuPont adalah sebuah usaha yang memproduksi bubuk mesiu di tahun 1802 dan DuPont melakukan suplai bubuk mesiu yang menjadi tulang punggung angkatan bersenjata Amerika saat menghadapi perang saudara sampai perang dunia kedua.
Pada pasca perang dunia, DuPont kemudian bertransformasi dan memimpin dalam industri plastik. Bahan sintetis seperti Orlon, Lycra, Mylar, dan Dacron yang diproduksinya menjadi tren. Puncaknya adalah ketika menemukan serat kualitas tinggi Kevlar, produk yang dipakai di misi antariksa dan industri pertahanan.
Saat chlorofluorocarbons (CFC), bahan pendingin, yang diproduksinya pada era 1980-an, dikritik karena merusak lapisan ozon maka DuPont segera mengganti produknya lebih ramah lingkungan. DuPont juga kemudian bertransformasi mengembangkan produk-produk ramah lingkungan yang menjadi trend dunia sampai saat ini.
Transformasi menjadi sesuatu yang wajib dilakukan perusahaan jika "melompat" meraih kepercayaan konsumen.
Kata "Transformasi¿ itulah yang juga dilontarkan Tony Su, Presiden DuPont Asia Pasifik saat menerima sejumlah media negara-negara ASEAN di Bangkok, pertengahan Oktober 2015.
Tony Su sekilas menjelaskan mengapa perusahaan multinasional asal Amerika Serikat yang berdiri sejak 1802 tetap bertahan. Perusahaan terus melakukan transformasi untuk menciptakan inovasi baru yang dibutuhkan dunia. Saat ini DuPont hadir di 90 negara dan pada tahun 2014 perusahaan itu meraih pendapatan sekitar 35 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp500 triliun.
Berbagai inovasi yang telah diciptakan, dihadirkan DuPont di setiap pusat inovasi yang ada 13 negara, termasuk enam di Asia yaitu Thailand, Jepang, Tiongkok, Taiwan, India dan Korea Selatan. Sejumlah media dari Asia Tenggara pada Jumat (16/10) diberi kesempatan menyaksikan berbagai inovasi yang dihasilkan DuPont yang dipamerkan di Thailand Inovation Centre di Bangkok.
Produk Inovasi
Suntaree Taratikun, Direktur DuPont Thailand Inovation Centre, mengantar peserta ASEAN Media Briefing menyaksikan produk inovasi terkini yang cukup membuat kagum. Ia menjelaskan bagaimana proses bonggol jagung yang merupakan produk limbah diolah menjadi benang organik atau biopolimer yang disebut sorona.
Dari benang itulah dibuat baju, celana termasuk celana jeans, selimut dan karpet. Dipastikan bahan sandang itu merupakan bahan organik yang mudah terurai di dalam tanah. Dari limbah jagung pula dihasilkan bahan kosmetik antipenuaan dini.
Pada bidang keselamatan kerja, dijelaskan produk bahan antipanas untuk petugas pemadam kebakaran dan bahan antiair yang tetap mampu meneruskan aliran udara. Bahan antiair itu bisa untuk jaket hujan dan pelapis atap rumah dan gudang. Pengguna jaket hujan tidak akan merasa kepanasan karena evaporasi kulit tidak terganggu.
Ada juga aneka kemasan pangan yang semuanya bebas residu kimia. Kemasan yang paling menonjol adalah kemasan makanan yang memisahkan antara bahan kering dan air sehingga mampu bertahan lebih lama. Kedua bahan dipisahkan sekat tipis yang jika kantong ditekan air yang berada di satu sisi akan mengalir ke bahan makanan kering seperti serbuk susu atau sereal yang berada di sisi lain.
Pada akuakultur, Suntaree yang bergabung sejak tahun 2004, menjelaskan, tim riset berhasil menciptakan bahan sebagai pengganti bahan metal pada aerator tambak. Bahan itu mempunyai keunggulan ringan, kuat, tidak berkarat, tahan paparan sinar matahari. Bahan baru sangat membantu petani tambak di Thailand karena biaya pemeliharaan lebih ringan dan fungsi aerasi yang baik karena kecepatan putar yang lebih tinggi.
"Rumah inovasi ini tidak hanya menampilkan temuan, tetapi kami juga siap berkolaborasi dengan pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat untuk mencari solusi dari setiap masalah," katanya.
Ia mengungkap, tahun 2014 Thailand Inovation Centre telah bekerja sama dengan 272 organisasi dan dikunjungi lebih dari 1.000 orang.
"Sampai September 2015 ini saja, sudah ada kerja sama 200 organisasi dan dikunjungi lebih dari 700 orang," katanya.
Riset
DuPont memang tidak sekedar memproduksi, tetapi melakukan riset pula yang matang sehingga apa yang diproduksi merupakan sesuatu yang memang dibutuhkan pada zamannya. Riset memegang peranan penting untuk mengetahui kebutuhan dunia.
Tony Su yang bergabung di DuPont sejak 35 tahun yang lalu, mengungkap riset menjadi napas perusahaan sehingga boleh dibilang DuPont adalah rumah riset untuk dunia.
Tidak tanggung-tanggung, perusahaan menyisihkan laba usaha untuk riset yang melibatkan 10.000 peneliti dan ahli teknik. Dana yang digelontorkan tahun 2014 mencapai dua miliar dolar Amerika Serikat atau Rp28 triliun.
Ke depan, DuPont kembali bertranformasi untuk mendukung ketahanan pangan di sejumlah negara dengan komitmen "membantu mengakhiri kelaparan". Kemampuan menciptakan benih unggul termasuk dengan teknik transgenik sudah dimiliki DuPont, demikian juga kemampuan menyediakan probiotik untuk melipatgandakan kemampuan tanaman.
Tidak heran Tony Su mencanangkan divisi agrikultur dan nutrisi akan semakin memainkan peranan penting di masa-masa mendatang.
Ia mencontohkan tahun 2008, divisi agrikultur dan nutrisi hanya menyumbang 26 persen pendapatan perusahaan, tetapi di tahun 2014 melonjak menjadi 43 persen pendapatan perusahaan.
Dalam sejarahnya, DuPont telah mengumpulkan benih unggulan berbagai tanaman dari sejumlah negara sejak tahun 1926 dan sudah melakukan banyak pemuliabiakan untuk mencari bibit unggul. Sudah banyak benih unggulan dengan teknik kawin silang (hibrida) dan bioteknologi dihasilkan antara lain jagung, kedele, alfalfa, canola, sorgum dan kapas.
Jagung hidribida menjadi salah satu unggulan, yang di Indonesia dikenal dengan Pioneer. Hasil panen jagung varietas hidbrida di Indonesia rata-rata sekitar delapan ton per hektare atau dua kali lipat dari varietas lokal.
Pengembangan berbagai benih dengan merk Pioneer itu melibatkan 4.500 peneliti di sekitar 100 lokasi penelitian di 25 negara.
Sejumlah benih transgenik yang memiliki produktifitas di atas varietas hibrida juga diproduksi dan sudah diterapkan sejumlah negara.
"Dua puluh tahun tanaman transgenik kami, telah digunakan di banyak negara dan membantu petani mencapai produksi tanaman yang lebih baik. Selama ini tidak menemukan masalah," katanya.
Namun ia mengakui masih ada negara yang berhati-hati menerapkan benih transgenik termasuk Indonesia karena khawatir memunculkan penyakit baru pada tanaman. Ia menyadari kehati-hatian negara termasuk Indonesia untuk mengembangkan berbagai benih transgenik, tetapi ia menyarankan agar setiap negara menguji penerapan benih transgenik termasuk produksi DuPont.
"Jika ada masalah dalam penerapan, kami siap membantu karena kami selalu menyiapkan tim pembimbing lapangan," kata lulusan Chung Yuan University itu.
Mengapa DuPont kembali bertransformasi untuk mendukung keberlanjutan pangan ? Tidak lain adalah prediksi populasi penduduk dunia yang semakin besar.
Di tahun 2050, populasi penduduk dunia mencapai sembilan miliar jiwa, artinya ada 150.000 orang setiap hari yang lahir dan harus dijamin ketersediaan pangannya.
"Kami ingin menggandakan produksi pangan dunia dua kali lipat, kami punya komitmen untuk memerangi kelaparan dan menguatkan keamanan pangan dunia," kata Tony Su. (Ant).
Transformasi DuPont Jadi Rumah Inovasi
Selasa, 20 Oktober 2015 17:09 WIB
Kami ingin menggandakan produksi pangan dunia dua kali lipat, kami punya komitmen untuk memerangi kelaparan dan menguatkan keamanan pangan dunia.